SENJARI.COM, JAMBI – Polemik aksi unjuk rasa yang berujung pada pembubaran yang dilakukan oleh aparat keamanan dalam hal ini Polri. Baru baru ini viral pembubaran aksi demo Ratusan warga Dusun Pematang Bedaro, Desa Teluk Raya, Kecamatan Kumpeh Ulu, Kabupaten Muaro Jambi. Dimana memblokir jalan masuk menuju PT Fajar Pematang Indah Lestari (FPIL), perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan sawit oleh Tim Gabungan Polda Jambi.
Viralnya berita tersebut terjadi diberbagai media sosial dengan penggiringan opini yang pada ujungnya menyudutkan Polri. Masyarakat tidak secara utuh melihat fakta dilapangan dan langsung beropini.
Padahal Polri baru mengambil tindakan tegas setelah 17 hari, karena terlebih dahulu mengedepankan upaya-upaya persuasif bersama perangkat desa dan pemerintahan.
Kabid Humas Polda Jambi, Kombes Pol Mulia Prianto mengatakan, sebelum melakukan pembubaran aksi demo, kepolisian sebelumnya telah melakukan upaya persuasif bersama perangkat desa dan pemerintahan setempat.
“Bahwa kepolisian sudah 16 kali atau setiap hari mendatangi lokasi unjuk rasa. Polisi memberi himbauan kepada warga untuk segera meninggalkan lokasi dan membuka akses jalan karena aksi sudah melanggar batas waktu ketentuan unjuk rasa serta menimbulkan gangguan pada kawasan yang menyangkut hajat hidup orang banyak,” kata Kabid Humas Polda Jambi.
Pendapat Akademisi Hukum Unja
Menurut pandangan Dr. Hafrida, S.H, M.H. Dosen Pasca Sarjana Unja, bahwa menyampaikan pendapat di muka umum merupakan hak setiap warga negara yang dijamin oleh UU. Tetapi jangan lupa dalam penyampaian pendapat dimuka umum ini ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, diantaranya Penyampaian pendapat dilakukan baik melalui demonstrasi, unjuk rasa, pawai, kemudian juga mimbar bebas dan sebagainya itu wajib memberitahukan pemberitahuan secara tertulis kepada Polri paling lambat tiga kali 24 jam sebelum pelaksanaan.
“Tiga kali 24 jam di perlukan Polri untuk dapat melakukan koordinasi ke pimpinan pengunjuk rasa, Polri diberi waktu untuk berkoordinasi dengan tempat sasaran atau institusi yang menjadi sasaran dari pengunjuk rasa dan Polri dapat mempersiapkan untuk pengamanan agar pelaksanaan penyampaian pendapat dimuka umum ini dapat terlaksana,” ujarnya, Kamis (27/7/2023).
Bagaimana kalau ini tidak dilakukan, tanya Hafrida, jika tidak dilakukan maka sesuai dengan ketentuan pasal 15 UU No. 9 Tahun 1998 bahwa Polri dapat membubarkan kegiatan penyampaian pendapat di muka umum ini bahkan jika kita tidak mengindahkan ini dapat dikenakan pasal 172 KUHP tentang ketertiban di muka umum dan ini adalah kejahatan.
“Polisi juga dapat membubarkan jika peserta aksi telah melanggar Pasal 6 UU No. 9 Tahun 1998 yang menyebutkan bahwa warga negara yang menyampaikan pendapat di muka umum berkewajiban dan bertanggung jawab untuk menghormati hak-hak dan kebebasan orang lain,” ucapnya.
Warga juga harus menghormati aturan-aturan moral yang diakui umum, menaati hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selanjutnya, menjaga dan menghormati keamanan dan ketertiban umum, serta menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa.
“Artinya Polisi dapat membubarkan aksi unjuk rasa atau menyampaikan pendapat di muka umum tidak hanya terbatas pada tidak terpenuhinya mekanisme syarat formil saja namun juga substansi cara penyampaian tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku dimasyarakat,” tandasnya. (*)
Discussion about this post