SENJARI.COM, JAMBI – Direktorat Kepercayaan dan Masyarakat Adat, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) melaksanakan kegiatan Pembekalan Wirawana Program Wana Budaya (Pemajuan Kebudayaan Berbasis Hutan Adat) Masyarakat Adat di Hotel Golden Harvest Kota Jambi.
Kegiatan ini dimaksudakan untuk memberikan pemahaman dan keterampilan bagi wirawana yang akan melakukan proses dan tahapan pemajuan kebudayaan di 29 titik Masyarakat Hukum Adat (MHA) yang telah mendapatkan SK. Penetapan Hutan Adat yang tersebar di empat kabupaten di Provinsi Jambi, yaitu: Kabupaten Sarolangun, Kabupaten Merangin, Kabupaten Kerinci, dan Kabupaten Bungo.
Wirawana adalah pejuang yang tak hanya memiliki keberanian dan pengetahuan, namun juga kesungguhan, keuletan, kepedulian dan sikap pengabdian yang tulus untuk bergerak bersama masyarakat adat dan pihak-pihak luar yang peduli untuk bersama-sama menjaga, melindungi, mengembangkan dan memanfaatkan hutan adat secara lestari dan selaras dengan nilai kearifan budaya lokalnya.
Keberadaan Wirawana memiliki peran sebagai fasilitator penggerak masyarakat adat, sekaligus aktor atau subjek dalam rangka penguatan daya masyarakat adat, daya hutan adat dan daya objek pemajuan kebudayaan/ CB/ ODCB yang kemudian dapat dikembangkan dan dimanfaatkan sebagai modal untuk membangun kehidupan yang lebih baik, membentuk karakter generasi penerus adat, meningkatkan kesejahteraan dan menguatkan jati diri serta ketahanan budaya masyarakat adatnya.
Sebanyak 87 (delapan puluh tujuh) orang Wirawana dan 29 orang Fasilitator Pendamping Wana Budaya dalam kegiatan ini. Wirawana ini merupakan perwakilan 29 Masyarakat Hutan Adat (MHA) yang berada di Provinsi Jambi, yang tersebar di 4 Kabupaten antara lain; Kabupaten Sarolangun (7 MHA), Kabupaten Merangin (5 MHA), Kabupaten Bungo (5 MHA) dan Kabupaten Kerinc (12 MHA).
Mereka merupakan para generasi muda yang dipilih lewat mekanisme musyawarah yang melibatkan para pihak yang ada di desa tersebut. Sedangkan 29 Fasilitator Pendamping Wana Budaya merupakan Fasilitator dari Lembaga Perantara (Lemtara) yang telah mendampingi proses penetapan Hutan Adat di masing-masing wilayah.
Lembaga Perantara tersebut dalam program Wana Budaya ini menjadi mitra dari Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat (Dit. KMA). Lembaga-lembaga ini telah lama berkecimpung melaksanakan pendampingan dan pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan, antara lain lembaga tersebut adalah KKI Warsi, Wahana Mitra Mandiri, Capa dan Satu Nama.
Dalam pelaksanaan program Wana Budaya di Provinsi Jambi, keempat lembaga ini telah bersepakat membentuk konsorsium bersama yang mereka beri nama Konsorsium “Siginjei” (Sinergisitas Untuk Negeri Jambi).
Selama lima hari (29 Juli – 2 Agustus 2024), para Wirawana dan Fasilitator Pendamping akan dibekali dan dilatih oleh narasumber dan instruktur tentang startegi oemajuan kebudayaan yang ada di MHA masing-masing.
Diharapkan dimasa mendatang wirawana bisa bergerak bersama, berupaya dengan sekuat tenaga, pikiran dan tenaga, yang dikuatkan dengan kepedulian yang dilandasi oleh nilai kemanusiaan dan nilai kearifan budaya lokal, untuk berpadu padan dan bergotong royong melindungi hutan adat melalui jalan kebudayaan. Tujuannya hanya satu, yaitu membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik, sehingga mampu menyelamatkan kehidupan saat ini dan kehidupan generasi penerus di kemudian hari.
Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat (Dit. KMA), Kemendikbudristek, melaksanakan kegiatan Pembekalan Wirawana Wana Budaya menjadi upaya dan langkah awal dalam pelaksanaan program Wana Budaya.
Desain program Wana Budaya yang akan dilaksanakan berupa Temu kenali ekosistem kebudayaan berbasis hutan adat, Publikasi hasil temu kenali, kurasi budaya unggulan dan penentuan tema pengembangan kebudayaan, Pemanfaatan kebudayaan berupa panen budaya Wirawana di Kenduri Swarnabhumi 2024.
Wana Budaya dapat dipahami sebagai suatu upaya pemajuan ekosistem kebudayaan berbasis hutan adat yang dijalankan berlandaskan nilai kearifan lokal demi kehidupan yang berkelanjutan.
Wana Budaya digagas dalam rangka menjawab berbagai macam problematika yang dihadapi oleh masyarakat adat, mulai dari ancaman kerusakan alam yang diakibatkan oleh pembangunan yang hanya berorientasi pada peningkatan ekonomi semata, lunturnya pranata adat, hingga—yang utama—semakin berkurangnya pengetahuan serta kepedulian generasi penerus tentang fungsi hutan bagi kehidupan.
Oleh karena itu, dalam rangka menguatkan ketangguhan masyarakat adat guna menghadapi persoalan tersebut sekaligus menjawab kebutuhan untuk meningkatkan kualitas kehidupan yang selaras dengan prinsip pembangunan kehidupan berkelanjutan, maka diketengahkanlah program yang dapat memberdayakan masyarakat adat, lingkungan hutan dan objek pemajuan kebudayaan ini.
Mengapa Jambi ?
Jambi adalah wilayah yang diproyeksikan sebagai pilot project dari Wana Budaya. Selain karena sebagai daerah yang mendapat penetapan hutan adat paling banyak titik lokasinya dari data KLHK, hutan hujan tropis provinsi ini juga, sebagaimana disebutkan oleh Musadat, termasuk wilayah yang menyimpan keanekaragaman hayati paling kaya sekaligus paling terancam di dunia akibat laju pembukaan lahan guna komoditas pertanian, terutama kelapa sawit (Musadat, 2015: 137).
Laporan dari Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi bahkan menyebutkan bahwa Jambi telah kehilangan sekitar 2,5 juta hektare tutupan hutannya dalam waktu 50 tahun terakhir. Hal tersebut diakibatkan oleh pengalihfungsian kawasan hutan menjadi lokasi penggunaan lain, di antaranya untuk perkebunan sawit.
Oleh karena itu, dibutuhkan upaya lebih serius dalam pengelolaan hutan adat di provinsi tersebut secara kolaboratif dan berkelanjutan disebabkan besarnya tantangan yang ada. Untuk itulah, Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat bergerak menyambut baik penetapan hutan adat oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan ini dengan meluncurkan Wana Budaya yang akan dilangsungkan secara kolaboratif bersama dengan para wirawana, masyarakat adat dan seluruh pihak terkait.
Wirawana adalah kolaborator Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat di garis terdepan yang diangkat dari barisan masyarakat adat.
Wirawana berakar pada kata wira yang berarti pemberani atau pejuang dan wana yang berarti hutan. Istilah wirawana dipilih karena memang sejatinya upaya pelindungan, pengembangan, pemanfaatan hingga pembinaan dalam rangka pemajuan kebudayaan berbasis hutan adat ini memerlukan pejuang-pejuang tangguh yang tak hanya memiliki keberanian, tetapi juga kesungguhan, keuletan dan sikap pengabdian yang tulus demi mewujudkan kehidupan yang berkelanjutan, yaitu kehidupan yang harmonis dan sejahtera baik secara sosial, ekonomi, ekologi maupun spiritual, baik bagi masyarakat adat di masa kini maupun generasi mendatang. (*)
Discussion about this post